MASALAH gangguan pendengaran (tuli) ternyata masih banyak dialami oleh masyarakat Indonesia. Meskipun tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini bisa menyebabkan permasalahan mental bagi penderitanya.
Sebagaimana diketahui, seseorang bisa dianggap tuli apabila tidak bisa mendengar suara di bawah 40 desibel (db) di bawah 20 %. Tentunya Anda bisa mengukurnya dengan mengetahui seberapa besar suara yang dihasilkan manusia. Jika Anda sering tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan orang lain, bisa jadi Anda menderita tuli
Pada umumnya suara yang dihasilkan seseorang yang berbicara adalah 50-60db, sementara saat berbisik-bisik suara yang dikeluarkan hanya 20-30db. Selain itu tingkat kerusakan telinga manusia juga memiliki beberapa derajat ketulian.
Gangguan pendengaran ini memang terbagi ke dalam beberapa kriteria, mulai dari ringan hingga sangat berat.Tuli tingkat rendah adalah orang yang tidak bisa mendengar suara 30-40db, jika seseorang tidak bisa mendengar suara hingga 40-60db maka sudah masuk dalam kategori menengah. Tingkat berat adalah jika seseorang tidak bisa mendengar suara 60-80db.
Sedangkan tuli yang paling parah adalah 80-90 db. Inilah tuli yang perlu ditanggulangi. Fungsional sudah terganggu seperti proses belajar, secara sosial dan emosi pun terganggu.
Secara sosial, umumnya pada orang lanjut usia (lansia), tuli membuat mereka menjadi terasing. Misalnya, jika ada keramaian tidak berani ikut serta, dan lebih memilih menyendiri.
Yang paling ekstrim adalah seseorang yang tidak bisa mendengar suara diatas 90db. Kategori ini sudah masuk dalam fase sangat berat, atau biasanya disebut tuli total.
Menurut Soekirman Soekin, ketulian ini memiliki banyak sekali dampak negatifnya bagi manusia. Mulai dari minder hingga pengaruh terhadap masa depan kehidupan sang penderitanya.
“Secara sosial penderita tuli akan minder karena malu. Ada juga yang mempengaruhi kesehatan karena rubela. Jika ini cacat sejak lahir maka akan memperngaruhi kehidupan di depannya, anak akan minder, berpengaruh juga pada pendidikan,” terang Soekirman, seperti yang diberitakan Okezone pada Jumat (22/3/2019).
Soekirman juga menjelaskan bahwa telinga manusia adalah hal yang sangat penting. Sebagai alat pendengar, telinga juga memiliki kemampuan untuk mengatur keseimbangan manusia. Seseorang akan hilang keseimbangannya apabila mengalami masalah pada telinganya.
“Salah satu komponen sistem keseimbangan ada di belakang telinga. Apabila seseorang terpukul atau terbentur dan mengenai sistem keseimbangan yang ada di belakang telinga, maka seseorang akan terjatuh dan sulit untuk bangun,” tuntasnya.
Sementara pada anak-anak, gangguan pendengaran mulai dari ringan hingga berat bisa diakibatkan oleh kuman rubella. Infeksi ini bisa merusak sel-sel liang telinga, gendang telinga, dan rumah siput. Jika kerusakan terutama terjadi pada sel rambut, bisa menyebabkan tuli total, anak bagai hidup di ruang hampa.
"Kalau dari bayi, cacat bawaan lahir, sangat fatal bagi kehidupan selanjutnya, fungsional tidak bisa, berkomunikasi sulit, belajar terhambat, akhirnya secara emosi dia jadi rendah diri, secara ekonomi dia jadi perlu pembiayaan yang lebih besar," tutur Soekirman.
Kebutuhan untuk alat bantu dengar tidaklah murah. Apalagi jika tuli berat harus menggunakan alat bantu dengar digital yang harganya belasan hingga puluhan juta rupiah.
Selain itu, implan koklea atau rumah siput, biayanya mencapai ratusan juta rupiah. Belum alat yang dipasang di luar juga perlu maintenance seperti baterai yang juga membutuhkan biaya. (Okezone - Viva)
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.