Menjaga kesehatan indera pendengaran merupakan hal yang penting karena indera pendengaran merupakan bagian dari investasi masa depan. Menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS, dampak yang ditimbulkan oleh gangguan pendengaran dan ketulian sangat luas dan berat.
“Jadi mengganggu perkembangan kognitif, psikologi dan sosial. Akibatnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) menjadi rendah serta penurunan daya saing masyarakat di pangsa pasar,” katanya saat memberikan keterangan pers secara daring dalam rangka memperingati Hari Pendengaran Sedunia Tahun 2021 pada Selasa (2/3).
dr. Maxi mengatakan WHO memperkirakan dampak ekonomi akibat gangguan pendengaran dan ketulian mencapai kurang lebih 750 Miliar US dollar per tahun.
Selain itu, gangguan pendengaran diklaim sebagai penyebab tertinggi keempat untuk disabilitas secara global. Data WHO tahun 2018 mencatat sekitar 466 juta atau 6,1 % orang di seluruh dunia mengalami gangguan pendengaran yang terdiri dari 432 juta atau 93% dewasa dan 34 juta atau 7% anak-anak. Dan diperkirakan ⅓ dari penduduk berusia di atas 65 tahun mengalami gangguan pendengaran yang terjadi secara alami.
Oleh karena itu, peduli akan kesehatan indera pendengaran merupakan hal yang penting. Hal ini sejalan dengan tema nasional yang diusung pada Hari Pendengaran Sedunia Tahun 2021, yaitu peduli kesehatan pendengaran untuk semua dan tema internasional hearing for all. Tema Ini mengandung pesan utama untuk melaksanakan deteksi, rehabilitasi dan komunikasi.
Deteksi dini merupakan upaya penting agar pencegahan gangguan pendengaran dapat dikenali sejak dini dan ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat.
Selanjutnya, rehabilitasi yang dilakukan secara dini akan memberikan kesempatan bagi penyandang gangguan pendengaran untuk memperoleh kembali fungsi-fungsi pendengaran. Dan yang terakhir komunikasi adalah proses penting dalam memperoleh informasi dan bersosialisasi.
“Upaya promotif perlu ditingkatkan dalam rangka menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk mempermudah akses komunikasi bagi teman tuli. Bagi petugas kesehatan pun diharapkan memiliki kepekaan terhadap kebutuhan teman tuli, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan optimal bagi mereka,” ujar dr. Maxi.
Gangguan Pendengaran Saat Pendemi
Sementara itu, Ketua Perhati KL, Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, Sp. THT-KL, mengungkapkan terjadi peningkatan kasus gangguan pendengaran di era pandemi COVID-19. Akan tetapi, pada situsi pandemi seperti sekarang ini tidak semua pasien memiliki keberanian untuk periksa ke rumah sakit, sehingga terkadang ada beberapa pasien yang datang dengan kondisi berat.
“Jadi beberapa pasien kita temukan sudah turun sekali pendengarannya baru berani (melakukan pemeriksaan) dan ternyata itu sudah dirasakan sejak awal-awal pandemi,” ungkap Prof. Jenny.
Untuk itu di era pandemi seperti saat ini, menurut Prof. Jenny, diperlukan penyesuaian pelayanan kesehatan untuk gangguan telinga dan pendengaran agar pasien maupun tenaga kesehatan tetap merasa aman dan tidak lagi merasa khawatir jika harus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. “Jadi sekarang untuk di era pandemi ini tidak saja patient safety tapi juga health worker safety.”
Penyesuaian ini antara lain dilakukan dengan menyediakan layanan telekonsultasi. “Pelayanan sebelum pandemi itu konsultasi dilakukan dengan tatap muka, sekarang kita juga banyak melakukan telekonsultasi untuk pasien-pasien yang memang bisa dilihat melalui telekonsultasi,” kata dia.
Namun, layanan telekonsultasi ini, imbuh Prof. Jenny, hanya dapat dilakukan pada pasien yang memiliki keluhan gangguan telinga luar. Sedangkan untuk pasien yang memiliki keluhan pada telinga tengah dan telinga dalam masih memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang mengharuskan mereka datang ke fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan alat pemeriksaan yang dibutuhkan.
Jika pemeriksaan fisik dan penunjang rawat jalan harus dilakukan secara langsung, untuk meningkatkan keamanan, pada kunjungan poliklinik harus dilakukan skrining pasien dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan.
Di samping itu, untuk tindakan operasi, dikatakan Prof. Jenny saat ini juga harus dilakukan dengan persiapan yang ketat dengan melakukan tes swab Polymerase Chain Reaction (PCR) sebelum melakukan operasi. Dan sebisa mungkin menggunakan ruangan operasi yang bertekanan negatif.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.