Muhammad Irsyad Hadyan (14 tahun), penyandang difabel intelektual ringan adalah siswa kelas 7 Sekolah Dasar Luar Biasa. Dengan penuh percaya diri, ia selalu berusaha memberikan penjelasan kepada setiap tamu yang datang pada pameran Explorasi Titik oleh 16 anak berkebutuhan khusus di Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang berakhir Minggu malam (12/8). Proses berkarya dengan titik tersebut untuk mendorong penyandang disabilitas lebih percaya diri dan lebih mandiri.
“Itu yang bahan kertas sama blacu itu. Itu pakai kertas terus digunting, dibuat di rumah sampai lama, di-lem (makan waktu) lima hari sepulang sekolah, sore sampai malam. Yang satu itu pakai cat air. Cuma dihias pakai bulat-bulat, pakai warna biru,” kata Muhammad Irsyad Hadyan.
Sementara itu, Ainunnisa Pramasti, sembilan tahun, penyandang down syndrome, duduk di kelas 2 SD Luar Biasa, masih harus banyak dibantu oleh ibunya, Sasanti Ayuninggar untuk membuat karya.
“Motorik halusnya itu kan belum stabil sehingga dia harus melakukannya dengan pelan dan harus percaya diri bahwa dia itu bisa. Karena kita sering latihan bersama dengan teman-temannya, menitik-menitik, menghasilkan karya lalu memamerkannya itu jadi kayaknya dia lebih percaya diri. Dulu malu-malu, disuruh nulis saja tidak mau. Sekarang bikin warna-warni itu dia jadi seneng dan dia merasa bisa gitu,” kata Sasanti Ayuninggar.
Giyanti, ibu dari Suryo Putro Legowo, 11 tahun,penyandang tuli dan low Vision (penglihatan kabur) , awalnya tidak yakin jika mengeksplorasi titik berdampak positif pada putranya. Dengan sabar Giyanti membantu putranya yang kini kelas 4 SD Luar Biasa untuk terus membuat titik-titik berdasarkan silabus Komunitas Perspektif.
“Sebetulnya awal-awal dulu saya tidak yakin ini untuk apa, tetapi ternyata dampaknya positif buat anak. Dia lebih berani, dia juga mau berkarya sehingga orang tua menjadi bangga lah. Kalau dia mau dia kerjakan, kalau dia tidak mau ya sudah. Dia mau lagi mengerjakan kalau lihat postingan teman-teman ada fotonya sedang mengerjakan karya, dia lalu mau mengerjakan”.
Giyanti mengaku, putranya mengalami kemajuan luar biasa sejak belajar titik untuk karya seni rupa tiga tahun lalu.
“Dia sekarang lebih tertib, kita kasih contoh; dik bangun tidur dirapikan, dia mau mengerjakan. Dia sekarang punya inisiatif sendiri untuk mengikuti perintah. Saya cuci piring, tahu-tahu ia cuci piring sendiri. (Bertemu) Sama orang lain dia juga lebih berani. Dulu itu kalau lihat orang pakai sepatu boot dia takut,” kata Giyanti.
Sri Hartining Sih, mendirikan komunitas Perspektif pada Oktober 2014 dengan niat mendorong rasa percaya diri anak-anak penyandang disabillitas. Salahsatu putrinya pennyandang tuli kini mahasiswa ISI Yogyakarta. Titik merupakan elemen paling sederhana dalam seni rupa yang bisa dibuat anak-anak berkebutuhan khusus dan membuat mereka merasa bisa berkarya.
“Esensi dari titik itu sesuatu yang mudah ya. Titik itu memang yang paling tepat untuk menjadi sesuatu agar anak-anak difabel itu bisa tumbuh percaya diri, karena dengan titik mereka bisa bereksplorasi dengan hasil yang luar biasa. Yang kita perjuangkan selama ini adalah kesempatan. Untuk kemampuan kita tidak pernah memandang ada kesamaan kemampuan. Tetapi keseteraan kesempatan itu yang harus kami berikan kepada anak-anak difabel,” kata Sri Hartining Sih.
Didin Suhendri, guru seni rupa di SLB Negeri I Yogyakarta kagum melihat karya mereka yang kreatif, ada yang mulai menggambar garis lengkung yang artistik, dan membuat titik menggunakan material yang beragam seperti biji-bijian, kancing baju, bubur tepung, bubur koran bekas hingga benang wool.
“Titik itu kan hal dasar dalam seni rupa, hal basic tetapi ini bisa dieksplorasi, digali dan benar-benar dicari bentuknya menjadi karya-karya yang menginspirasi dan bagus sekali menurut saya, sangat kreatif. Padahal ini kan hanya unsur titik kan, dari basic ini lalu ada garis dan warna,” kata Didin Suhendri.
“Kita layak memberi apresiasi yang tinggi atas prakarsa komunitas Perspektif yanng telah berhasil menggelar pameran seni rupa karya mennyandang disabilitas. Hasil karya seni penyandang disabilitas itu tidak kalah kualitasnya dengan produk hasil karya seniman lainnya. Kekurangan mereka adalah keterbatasan kesempatan. Saya berharap, pemilik galeri-galeri seni rupa terpanggil memberikan kesempatan dan tempat mereka berkarya,” kata Sultan Hamengkubuwono X.
Komunitas Perspektif telah sembilan kali menggelar pameran "Mengeksplorasi Titik" di sejumlah kota di Indonesia dan di luar negeri.
Baca : Artikel Sumber