Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang jumlah anak pendek cukup mencengangkan. Saat ini, setidaknya ada sembilan juta anak mengalami gagal tumbuh sehingga tinggi badannya tidak senormal dengan anak-anak seusianya. Di dunia kesehatan ini disebut sebagai stunting, kondisi yang akan mempengaruhi banyak hal pada masa depan.
Karena itu, Presiden Joko Widodo memberi perhatian besar pada masalah tersebut di tahun terakhir kepemimpinannya. Bahkan, dia menaruhnya pada skala prioritas kedua sebagai upaya meningkatkan sumber daya manusia (SDM) setelah pembangunan infrastruktur, ikon utama pada masa pemerintahannya yang telah menyedot anggaran negara ratusan triliun rupiah setiap tahun.
“Stunting atau gagal tumbuh merupakan ancaman terhadap daya saing bangsa. Anak stunting tidak hanya secara fisik pendek dan kerdil, tetapi juga mempengaruhi produktivitas di usia produktif,” kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis kemarin (5/4/2018). “Tahapan penting infrastruktur akan selesai, kami akan masuk kualitas SDM.”
Dia menekankan bahwa upaya menurunkan stunting merupakan kerja bersama yang harus melibatkan semua elemen masyarakat. Beberapa langkah yang akan ditempuh seperti mengaktifkan kembali secara maksimal fungsi pos pelayanan terpadu (posyandu) di desa. Juga mengintervensi secara langsung terhadap pola pangan dan asuh oleh orang tua.
Upaya menekan tingginya jumlah stunting tentu menjadi pekerjaan besar bagi pemerintahan Jokowi, isu yang juga beberapa kali disinggung oleh sejumlah lembaga internasional seperti Bank Dunia. Menurut Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro, stunting bukan hanya persoalan tumbuh kembang anak, tapi juga dapat merugikan ekonomi. “Dan itu menyebar di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan,” kata Bambang.
Dalam kalkulasi lembaganya, stunting berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi 2 – 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Jika PDB Indonesia saat ini Rp 13.000 triliun, diperkirakan potensi kerugian akibat stunting sekitar Rp 300 triliun per tahun.
Karena itu, kata Bambang, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan penurunan stunting pada anak usia di bawah dua tahun (Baduta) dari 32,9 persen di 2013 menjadi 28 persen pada tahun depan. Tahun ini, pemerintah menjadikan penurunan stunting sebagai salah satu Proyek Prioritas Nasional.
Di dunia kesehatan, stunting dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995 Tahun 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur sebagai padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah membuat parameter atas bayi di bawah lima tahun (balita) pendek. Di sini, anak terkena stunting bila nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD. Indikator tersebut sangat terkait dengan asupan gizi pada anak berdasarkan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study).
Menurut standar WHO ini, suatu wilayah dikatakan mengalami masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting sama/lebih dari 20 persen atau balita kurus di atas 5 persen. Sementara proporsi bayi pendek di Indonesia saat ini masih di atas 29 persen dan ditargetkan turun menjadi 28 persen pada 2019.
Salah satu penyebab stunting yaitu kekurang gizi kronis dalam waktu lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai. Kekurangan gizi bisa terjadi ketika janin dalam kandungan. Kurangnya gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitifnya juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang.
Data Bappenas menunjukkan, kondisi stunting pada balita terjadi secara luas dengan disparitas yang tinggi. Pemerintah menetapkan 100 kabupaten prioritas untuk pengurangan angka stunting. Setelah itu akan berfokus pada 200 kabupaten lainnya. Stunting tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah dengan jumlah mencapai 16,9 persen dan terendah ada di Sumatera Utara dengan 7,2 persen pada 2016. Tahun lalu, posisinya bergeser ke Nusa Tenggara Timur dan Bali.
Di lihat dari seluruh populasi nasional, rata-rata stunting terjadi 10,2 persen. Dengan jumlah itu, Global Nutrition Report pada 2014 menyebutkan Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang mengalami beban ganda permasalahan gizi.
Menurut Kementerian Kesehatan, perbaikan stunting harus meliputi upaya mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung atau intervensi gizi spesifik, dan secara tidak langsung alias intervensi gizi sensitif. Pada umumnya, intervensi gizi spesifik dilakukan di sektor kesehatan, namun hanya berkontribusi 30 persen. Adapun 70 persen lainnya merupakan kontribusi intervensi gizi sensitif yang melibatkan berbagai sektor seperti ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan ketahanan pangan.
Intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yaitu ibu hamil, ibu menyusui, dan anak 0-23 bulan. Penanggulangan pada usia ini dinilai paling efektif. Karenanya, ada yang menyebut masa ini sebagai “periode emas” atau “periode kritis”. Sementara Bank Dunia menyebutnya sebagai “window of opportunity”.
Dalam jangka pendek, masalah gizi pada periode tersebut dapat memicu terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan metabolisme dalam tubuh, dan pertumbuhan fisik. Sedangkan dalam jangka panjang bisa menurunkan kemampuan kognitif dan prestasi belajar serta melemahnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit. Selain itu muncul pula risiko tinggi akan penyakit diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan kegemukan. Efek lanjutnya yakni kualitas kerja tidak kompetitif sehingga produktivitas ekonomi rendah.
Berikut ini beberapa upaya intervensi yang dikampanyekan Kementerian Kesehatan.
1. Pada ibu hamil
2. Pada saat bayi lahir
3. Bayi berusia enam bulan sampai dua tahun
4. Memantau pertumbuhan balita di posyandu
Ini merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
5. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
PHBS harus diupayakan oleh setiap rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.
Muchamad Nafi-Katadata
Baca : Artikel Sumber
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.