Belakangan semakin banyak orang yang menerapkan diet kaya protein. Produk makanan dan minuman berprotein tinggi juga tidak sulit lagi ditemukan.
Namun, sebenarnya sebanyak apa protein dibutuhkan tubuh? Apakah hanya memakan protein benar-benar bisa membantu kita menjadi lebih kurus?
Pada awal abad ke-20, seorang penjelajah Kutub Utara, Vilhjalmur Stefansson, hanya mengonsumsi daging selama lima tahun. Ini berarti dietnya hanya terdiri dari 80% protein dan 20% lemak. Sekitar 20 tahun kemudian, dia juga melakukan hal yang sama sebagai bagian dari eksperimen yang dilakukan Rumah Sakit Bellevue di New York.
Stefansson ingin membuktikan bahwa manusia bisa bertahan hidup hanya dengan memakan daging. Faktanya, setidaknya pada Stefansson, dia menjadi cepat sakit jika hanya memakan daging tanpa lemak.
Dia mengalami apa yang disebut sebagai "keracunan protein". Gejala penyakitnya berkurang setiap kali dia mengurangi jumlah protein yang dimakan, serta menambah asupan lemak.
Ketika kembali ke kehidupan sehari-harinya, si penjelajah memutuskan untuk mengkonsumsi makanan 'normal' Amerika, dengan tingkat protein tinggi, rendah karbohidrat, tetapi tinggi lemak. Dia tetap hidup sehat hingga akhirnya wafat pada usia 83 tahun.
Apa yang dilakukan Stefansson adalah salah satu dari sedikit penelitian terkait bagaimana protein yang dikonsumsi berlebihan, bisa berdampak buruk bagi tubuh.
Meskipun tingkat obesitas terus melonjak dalam dua dekade terakhir, tetapi harus diakui bahwa orang sekarang ini semakin berhati-hati dengan apa yang dia makan. Belakangan banyak yang mengganti roti biasa dengan roti gandum, serta susu yang diminumnya dengan susu rendah lemak.
Jelas, mayoritas kita mulai meyakini bahwa kita harus mengonsumsi sebanyak mungkin protein untuk sehat.
Meskipun begitu, sejumlah peniliti menyebut bahwa makanan yang 'terlalu kaya' protein sebenarnya hanya membuang-buang uang.
Protein memang diperlukan tubuh untuk membuatnya tumbuh dan mengganti sel-sel yang rusak. Makanan kaya protein seperti susu, daging, telur, ikan dan kacang-kacangan akan diurai tubuh menjadi amino acids dan diserap oleh tubuh. Sisanya akan dibuang bersama air kencing.
Orang dewasa yang tidak begitu aktif disarankan untuk memakan sekitar 0,75gr protein per hari untuk setiap 1kg berat badannya. Jadi, rata-rata laki-laki perlu memakan 55gr protein dan perempuan 45gr protein setiap hari. Itu hanya sekitar dua genggaman daging, ikan, tahu, atau kacang-kacangan.
Jika tubuh tidak mendapatkan protein yang cukup, maka rambut orang tersebut akan rontok, kulitnya kusam dan berat badan serta masa ototnya berkurang. Namun, efek samping seperti ini sangat jarang, dan biasanya hanya terjadi pada orang yang memiliki penyakit seperti bulimia atau anoreksia.
Protein kerap disebut sebagai zat pembangun otot. Ini benar. Olahraga beban akan membuat protein di otot terurai. Protein dibutuhkan untuk membangun kembali otot tersebut menjadi lebih kuat.
Ahli gizi menyebut jika protein tidak dikonsumsi setelah olahraga, maka otot akan terus terurai dan pembentukan otot baru yang lebih kuat tidak akan terjadi. Oleh karena itu, suplemen protein pun banyak dijual bagi mereka yang ingin membentuk otot.
Dan konsumen pun percaya dengan hipotesa itu. Sebanyak 27% warga Inggris mengonsumsi suplemen seperti susu dan snack protein. Meskipun begitu, ternyata sekitar 63% orang ragu apakah mengonsumsi suplemen itu benar-benar membentuk otot mereka.
Memang, hasil riset terkait pengaruh suplemen terhadap pertumbuhan otot, ternyata beragam. Pada sebuah analisa yang dilakukan tahun 2014 menunjukkan bahwa suplemen protein tidak berpengaruh membentuk otot di minggu-minggu awal olahraga.
Namun, ketika beban olahraga semakin berat, suplemen akan memicu pertumbuhan otot. Ini pun harus dikombinasikan dengan karbohidrat.
Bagaimana dengan atlet dan pecandu gym? Mereka pun sebenarnya tidak perlu mengkonsumsi suplemen tambahan, karena kebutuhan protein mereka telah terpenuhi oleh makanan sehari-hari, ungkap profesor bidang olahraga Universitas Stirling, Kevin Tipton.
"Tidak ada unsur di suplemen, yang tidak bisa didapatkan di makanan sehari-hari.Snack protein sebenarnya hanyalah cokelat dengan protein yang sedikit lebih banyak."
Mayoritas ahli gizi dan olahraga sepakat dengan Tipton, bahwa protein paling bagus dikonsumsi lewat makanan, bukan suplemen. Namun, tentu ada pengecualian, misalnya "atlet yang sulit mencapai target asupan protein", kata profesor psikologi manusia Universitas John Moores Liverpool, Graeme Close.
Selain itu, para manula juga butuh tambahan protein. Karena disaat menua, kita jadi semakin butuh protein untuk mempertahankan masa otot. Padahal, di usia-usia tersebut selera makan kita semakin turun.
Profesor olahraga dari Universitas Newcastle bahkan sedang bekerja sama dengan sebuah perusahaan makanan untuk membuat snack protein untuk orang tua. "Karena di saat tua, kita jadi semakin tidak aktif sehingga massa otot perlahan-lahan akan hilang."
Protein sudah lama dikaitkan dengan penurunan berat badan. Mengonsumsi makanan tinggi protein dan rendah karbohidrat, misalnya dengan diet Paleo dan Atkins, akan membuat orang merasa kenyang lebih lama.
Pakar gizi Universitas Aberdeen, Alex Johnstone, menyebut memang ada bukti bahwa protein akan memperlama rasa kenyang. Sehingga, jika Anda memang berniat menurunkan berat badan, maka cobalah untuk memakan makanan berprotein tinggi saat sarapan. Misalnya dengan menaruh kacang-kacangan di atas roti.
Johnstone menyarankan bagi mereka yang kelebihan berat badan untuk mengasup makanan tinggi protein dengan tingkat karbohidrat sedang. Komposisinya kira-kira 30% protein, 40% karbohidrat dan 30% lemak. Sementara pola makan biasa mengandung 15% protein, 55% karbohidrat dan 35% lemak.
Namun, jelas, hanya dengan menaikkan asupan protein saja, tidak akan membuat Anda kurus. Anda juga harus memilih daging yang lebih minim lemak, misalnya daging ayam dan ikan.
Tapi di sisi lain, studi juga menunjukkan bahwa makanan terlalu banyak protein hewani, terutama daging merah juga akan meningkatkan peluang mengidap kanker dan sakit jantung.
Walau bagaimanapun, risiko yang ditimbulkan karena mengkonsumsi terlalu banyak protein, tidaklah besar. Risiko hanya pada kantong, yang akan semakin menipis. Tidak hanya itu, selain membuat dompet tipis, "protein yang terlalu banyak juga hanya akan terbuang sia-sia di toilet", pungkas Johnstone.
Artikel Sumber : We don't need nearly as much protein as we consume , BBC
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.