Hari Talasemia Sedunia diperingati setiap tanggal 8 Mei, merupakan hari peringatan untuk menghormati semua pasien dengan Talasemia dan orang tua mereka yang tidak pernah kehilangan harapan untuk hidup, terlepas dari beban penyakit mereka, dan untuk semua ilmuwan yang telah berdedikasi dan berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan talasemia di seluruh dunia.
Tema peringatan Hari Talasemia Sedunia tahun 2019 secara nasional adalah “Putuskan Mata Rantai Talasemia. Tema ini mengajak individu dan masyarakat untuk memutuskan rantai penyakit talasemia mayor dengan cara melakukan skrining agar individu dapat mengetahui apakah mereka pembawa sifat talasemia.
Talasemia merupakan salah satu penyakit kelainan genetik yang cukup banyak diderita oleh masyarakat di dunia. Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk talasemia dunia, artinya negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi.
Hari ini, dalam rangka memperingati Hari Talasemia Sedunia 2019, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, menyelenggarakan seminar awam di Aula Siwabessy Gedung Prof.Sujudi Kementerian Kesehatan, dengan narasumber Dr.dr. T Djumhana Atmakusumah, SpPD, KHOM, Dr. dr.Teny Tjitra Sari, Sp.A(K), dr.Iswari Setyaningsih, SpA, PhD, dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dan Dhona Rhivana perwakilan dari penyandang talassemia.
World Heatlh Organization (WHO) menyatakan bahwa insiden pembawa sifat Talasemia di Indonesia berkisar 6-10%, artinya bahwa dari setiap 100 orang penduduk terdapat 6-10 orang yang merupakan pembawa sifat Talasemia.
Data World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan pembawa sifat talassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat talassemia β, 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang.
Angka kejadian pembawa sifat Talasemia banyak terdapat di daerah-daerah seperti Mediterania, Timur Tengah, Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan Cina Selatan. Migrasi penduduk dari daerah-daerah pembawa sifat tersebut kedaerah lainnya akan menyebabkan peningkatan jumlah penyandang Talasemia dengan pesat.
Berdasarkan laporan Talasemia International Federation tahun 2005, prevalensi carrier talasemia yang paling tinggi adalah di Irak dan Saudi Arabia yaitu antara 1-15%. Di Asia prevalensi talasemia berkisar antara 1-15% dengan perincian Singapura (4%), India (3-17%), Hongkong (2,8%), dan Srilanka (2,2%). Prevalensi pembawa sifat talasemia (carrier) di Indonesia mencapai sekitar 3-8% dari jumlah penduduk dengan angka kelahiran sebesar 23 per 1000 penduduk dari 240 juta penduduk Indonesia. Diperkirakan saat ini terdapat sekitar 5.520.000 kasus bayi yang lahir dengan Talasemia tiap tahunnya.
Menurut Riskesdas 2007, terdapat 8 provinsi dengan prevalensi Talasemia lebih tinggi dari prevalensi nasional, antara lain Provinsi Aceh (13,4‰), DKI Jakara (12,3‰), Sumatera Selatan (5,4‰), Gorontalo (3,1‰), Kepulauan Riau (3,0‰), Nusa Tenggara Barat (2,6‰), Maluku (1,9‰), dan Papua Barat (2,2‰). Tahun 2016, prevalensi Thalassemia mayor di Indonesia berdasarkan data UKK Hematologi Ikatan Dokter Anak Indonesia mencapai jumlah 9.121 orang. Berdasarkan data Yayasan Thalassemia Indonesia/Perhimpunan Orang Tua Penderita (YTI/POPTI) diketahui bahwa penyandang Thalassemia di Indonesia mengalami peningkatan dari 4.896 penyandang di tahun 2012 menjadi 9.028 penyandang pada tahun 2018
Pembiayaan kesehatan untuk tatalaksana talasemia menempati posisi ke 5 diantara penyakit tidak menular setelah penyakit jantung, kanker, ginjal, dan stroke sebesar 225 milyar rupiah di tahun 2014 menjadi 452 milyar rupiah di tahun 2015 menjadi 496 milyar rupiah di tahun 2016 menjadi 532 milyar di tahun 2017 dan sebesar 397 milyar sampai dengan bulan September 2018.
Penyakit Talasemia belum bisa disembuhkan dan harus transfusi darah seumur hidup, tetapi dapat dicegah dengan mencegah pernikahan sesama pembawa sifat Talasemia. Oleh karena itu, deteksi dini sangat penting untuk mengetahui status seseorang apakah dia pembawa sifat atau tidak, karena pembawa sifat Talasemia sama sekali tidak bergejala dan dapat beraktivitas selayaknya orang sehat. Idealnya dilakukan sebelum memiliki keturunan yaitu dengan mengetahui riwayat keluarga dengan talasemia dan memeriksakan darah untuk mengetahui adanya pembawa sifat talasemia sedini mungkin. Sehingga pernikahan antar sesama pembawa sifat dapat dihindari. Hal ini harus di kampanyekan kepada masyarakat melalui berbagai media komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE).
Diharapkan dengan peringatan Hari Talasemia Sedunia 2019, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan keperdulian keluarga dengan talasemia dalam upaya mencegah dan mengendalikan Talasemia.
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.