Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia setelah India dan China (Global TB Report, 2021). Pada tahun 2020, estimasi kasus TBC di Indonesia berjumlah 824.000 dengan 47% diantaranya sudah ternotifikasi atau sudah ditemukan (384.025). Di Indonesia tahun 2020-2021, 53% kasus TBC adalah laki-laki dan paling banyak ditemukan pada kelompok usia 45-54 tahun. Banyak kasus baru TBC disebabkan oleh 5 faktor risiko, yaitu : kurang gizi, infeksi HIV, gangguan penggunaan alkohol, merokok (terutama pada pria) dan diabetes. Di Indonesia dan 30 negara dengan beban TBC tertinggi lainnya, laki-laki berisiko lebih tinggi menderita TBC dibandingkan perempuan karena sebagian besar (60%) laki-laki usia ≥ 15 tahun merokok.
Data IHME tahun 2019 menunjukkan bahwa TBC merupakan 10 penyebab kematian terbanyak di Indonesia sebesar 7,1%, setelah penyakit jantung, kanker dan diabetes. Sedangkan merokok adalah faktor risiko penyebab kematian ke-2 terbesar setelah hipertensi sebesar 17,03%. Di Indonesia, TBC adalah salah satu penyebab utama kematian pada perokok, sebesar 15,2% kematian akibat TBC terkait merokok, sehingga merokok sebagai faktor risiko utama terjadinya TBC dapat menghambat target penurunan insiden dan kematian akibat TBC pada tahun 2030.
Merokok merupakan faktor risiko tertular TBC, perokok memiliki risiko dua kali lebih besar terkena TBC dibandingkan bukan perokok. Pada perokok pasif, risiko ini bahkan 4,5 kali lebih besar dibanding dengan orang yang tidak terpapar asap rokok. Kandungan zat berbahaya yang terdapat dalam rokok dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh. Selain itu, asap rokok pun dapat melumpuhkan silia yang bertugas untuk menggerakkan benda asing, termasuk kuman, bakteri, dan virus keluar dari saluran pernapasan. Itu sebabnya perokok menjadi lebih rentan tertular tuberkulosis.
Tingginya jumlah perokok di Indonesia yang terus meningkat pada berbagai kelompok umur mengancam kesehatan dan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi perokok usia > 10 tahun pada tahun 2018 sebesar 28,9%, dan kecenderungan peningkatan prevalensi merokok terlihat lebih besar pada usia muda 10-18 tahun dibandingkan usia dewasa, dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018 (Riskesdas, 2013 & 2018).
Target eliminasi TBC 2030 bisa dicapai apabila didukung oleh komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat. Perlu kolaborasi antara program pengendalian konsumsi rokok dan penanggulangan TBC, seperti dukungan layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) pada penderita TBC, menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), menciptakan rumah bebas asap rokok, dan memasukkan terapi pengganti nikotin dalam layanan penanganan TBC. Melihat kondisi tersebut, perlu penguatan strategi dalam mendukung capaian RPJMN 2020-2024 untuk menurunkan prevalensi perokok usia 10-18 tahun dan eliminasi TBC di Indonesia melalui :
Sebagai upaya pembangunan kesehatan, termasuk pengendalian tembakau, Kementerian Kesehatan terus bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga terkait dan Pemerintah Daerah. Pentingnya dukungan seluruh pihak di jajaran pemerintah pusat dan daerah, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, kalangan swasta, dan dunia usaha bersama seluruh masyarakat dalam pengendalian konsumsi rokok semakin memperkuat komitmen kita dalam mendukung pengendalian konsumsi rokok demi menurunkan prevalensi perokok dan eliminasi TBC di Indonesia.
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.