C. Pencegahan tersier bagi penyandang Thalassemia adalah mencegah agar tidak timbul komplikasi yang makin memperberat kondisi kesehatannya.Misalnya dalam tatalaksana transfusi darah diupayakan agar tidak terjadi penumpukan zat besi yang berlebihan dan jika terjadi penumpukan zat besi maka terapi kelasi besi harus dikuasai oleh petugas kesehatan di rumah sakit dengan baik untuk mencegah terjadinya kerusakan hati dan ginjal.
D. Penatalaksanaan Thalassemia
1. Penatalaksanaan bagi pasien Thalassemia Mayor
Di Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya).
a. Penatalaksanaan kasus Thalassemia dengan rujuk balik adalah mengikuti anjuran dokter dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan, umumnya pada pasien Thalassemia mayor adalah evaluasi klinis, pemeriksaan laboratorium dan efek samping dari pemberian kelasi besi.
b. Untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama yang akan mendapatkan rujukan balik pasien Thalassemia dari fayankes tingkat lanjutan,perlu melakukan monitoring seperti: Munculnya reaksi transfusi yang muncul (bisa tipe cepat dan atau lambat), terutama urtikaria dan demam yang dapat diatasi simptomatis. Saat akan merujuk balik pasien ke fayankes lanjutan agar diinformasikan:
a. Di Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya)
1. Pada kasus anemia yang dicurigai pembawa sifat/carrier Thalassemia berdasarkan anamnesa, riwayat anggota keluarga ada yang menderita Thalassemia, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium dan telah menyingkirkan kemungkinan adanya tanda-tanda infeksi dan anemia defisiensi besi. (Pedoman Tatalaksana Pengelolaan Anemia Defisiensi Besi, oleh Direktorat Gizi,Kementerian Kesehatan).
2. Sebaiknya sebelum melakukan pemeriksaan darah dan skrining Thalassemia faskes tingkat 1 melakukan penyuluhan secara berkala mengenai apa pentingnya mengetahui penyakit Thalassemia untuk meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat sehingga masyarakat awam sadar dan mengerti mengapa pemeriksaan skrining tersebut menjadi sangat penting.
b. Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan
Kegiatan yang dilakukan meliputi:
Secara garis besar, penatalaksanaan Thalassemia adalah transfusi darah, pemberian obat pengikat besi (iron chelators),obat obat suportif, manajemen komplikasi medis dan non medis, serta transplantasi sumsum tulang.
a). Transfusi darah
Pemberian transfusi darah bagi penyandang Thalassaemia seumur hidup, rata-rata sebulan sekali, kemudian untuk mengeluarkan kelebihan besi dalam tubuh akibat transfusi darah rutin dan anemia kronik maka diberikan obat kelasi besi. Komplikasi Thalassaemia seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan, pembesaran limpa, dan lainnya umumnya muncul pada dekade kedua, dengan tatalaksana yang baik, maka pasien dapat mencapai usia sampai dekade ke 3-5.
Berdasarkan rekomendasi PHTDI Indonesia transfusi darah rutin untuk pasien anak diberikan pada kadar Hb pretranfusi 9-10 gr %, dengan target Hb pasca transfusi antara 12-13 gr%. Hal ini bertujuan agar anak Thalassemia mayor dapat tumbuh dan kembang sesuai anak normal lainnya.
Sangat dianjurkan pemberian darah aman dan adekuat untuk mencegah tertularnya penyakit yang dapat tertular melalui darah, misalnya hepatitis B, hepatis C dan HIV,Dunia menganjurkan skrining darah donor menggunakan metoda “nucleic acid testing” (NAT). Sayangnya skrining metoda NAT ini tidak selalu tersedia disemua tempat, untuk itu dapat diusahakan menyediakan donor tetap yang sudah diskrining sebelumnya, selain itu pada pasien yang mendapat transfusi darah berulang seperti pasien Thalassemia, untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi akibat pembentukan alloantibodi, dianjurkan untuk menggunakan darah rendah leukosit (leukoreduksi atau leukodeplesi), jika darah leukoreduksi tidak tersedia, dapat menggunakan bedside filter saat transfusi.
b). Obat Pengikat Besi / Kelasi Besi
Saat ini di Indonesia tersedia 3 jenis obat obat pengikat besi (iron cehlators). Ke tiga obat tersebut adalah
1) Desferrioxamine (DFO) yang diberikan secara subkutan
2) Deferriprone (DFP),
3) Deferasirox (DFX) yang dapat diberikan secara oral.
Obat kelasi besi ini baru diberikan jika
1. Kadar feritiin serum ≥ 1000 ng/dL
2. Kadar saturasi transferin (serum iron/total iron binding capacity = SI/TIBC) ≥ 75%
3. Adanya tumpukan besi di jantung yang diukur dengan menggunakan pemeriksaan MRI T2* < 20 ms
4. Telah menerima transfuse darah > 10x
5. Telah menerima darah sebanyak ± 3 liter.
c). Obat obat suportif dan makanan
Di samping transfusi darah, kepada pasien diberikan obat-obat seperti asam folat, vitamin E sebagai antioksidan,serta micro dan makroelental lainnya seperti kalsium,zinc dan pengobatan khusus lainnya untuk mencegah atau sebagai terapi dari komplikasi yang timbul.Makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang banyak mengandung zat besi seperti daging merah dan hati.Sangat dianjurkan untuk banyak mengkonsumsi makanan dairy products seperti susu, keju, gandum, juga teh.
d). Splenektomi
Pembesaran limpa yang terjadi umumnya akibat terjadinya hiperaktif sistem eritropoesis yang biasanya terjadi akibat Hb pretransfusi pasien yang rendah (Hb < 9 g/dL). Hal ini menyebabkan tubuh melakukan kompensasi dan menyebabkan limpa membesar.
Saat ini splenektomi sudah banyak ditinggalkan, karena bahaya pasca tindakan seperti thrombosis dan sepsis yang berat. Jika pembesaran limpa disebabkan transfusi darah yang tidak adekuat, sebelum melakukan tindakan splenektomi dapat dicoba pemberian transfusi dan kelasi besi yang adekuat (Hb pre transfusi 9-10 g/dL dengan target Hb 13 g/dL disertai pemakaian kelasi besi adekuat selama 6 bulan) Jika dengan tindakan tersebut ukuran limpa mengecil, maka tindakan splenektomi dapat ditunda).Tetapi pada beberapa kasus yang memerlukannya harus diperhatikan bahwa 2 minggu sebelum/sesudah operasi sebaiknya diberikan vaksinasi, dan pemantauan ketat tanda infeksi pasca splenektomi.
e). Manajemen komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat penyakit Thalassemianya sendiri dan akibat dari tatalaksana yang diberikan. uan psikososial terutama pada pasien remaja.
Monitoring komplikasi akibat penyakit yang umumnya dilakukan saat pasien mulai berusia 10 tahun dengan melakukan serangkaian pemeriksaan, antara lain:
ekokargiografi, MRI T2* untuk mengetahui adanya hemokromatosis jantung; Pemeriksaan hormon pertumbuhan, elektrolit dan mikro/ makroelemen (kalsium, fosfat, zink), bone age untuk mengetahui adanya keterlambatan usia tulang, foto tulang panjang untuk melihat osteoporosis. Selain itu pada pasien remaja sebaiknya dilakukan juga terapi psikososial untuk meningkatkan rasa percaya diri, kemampuan yang mereka miliki, dan mengatasi kebosanan dalam melakukan pengobatan yang akan mereka jalani seumur hidupnya.
f). Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, dengan syarat pasien tersebut belum menderita komplikasi berat yang “irreversible” dan pasien tersebut memiliki donor sumsum tulang yang cocok sistem HLA-nya, untuk transplantasi alogenik.
(pasien, laboratorium dan penunjang lain)
Mulai dari menegakan diagnostik, tatalaksana optimal, kemudian memberikan rujukan balik ke fasyankes tingkat pertama, pemeriksaan apa yang harus dimonitor secara periodik di antaranya darah tepi, fungsi organ hati dan ginjal, dan adanya tanda infeksi. Bila ditemui tanda infeksi, dianjurkan untuk untuk menghentikan obat kelasi besi (minimal monitoring SGOT, SGPT, ureum kreatinin per 3 bulan). Untuk anak dengan Hb ≤ 9 gr/dL dan dewasa dengan Hb ≤ 8 gr/dl harus dirujuk untuk transfusi.
Dengan atau tanpa anemia yang disertai gambaran mikrositik hipokrom harus dilakukan deteksi dini.
Dalam rangka meningkatkan “awareness” bagi pasien, keluarga, masyarakat awam tentang penyakit Thalassemia
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.