Kesehatan mental merupakan hal sama pentingnya dengan kesehatan fisik bagi manusia. Dengan sehatnya mental seseorang maka aspek kehidupan yang lain dalam dirinya akan bekerja secara lebih maksimal. Kondisi mental yang sehat tidak dapat terlepas dari kondisi kesehatan fisik yang baik.
Kesehatan mental yang baik untuk individu merupakan kondisi di mana individu terbebas dari segala jenis gangguan jiwa, dan kondisi dimana individu dapat berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya dalam menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang mungkin ditemui sepanjang hidupnya. Menurut WHO, kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya.
Dewasa ini masalah kesehatan jiwa semakin mendapat perhatian masyarakat dunia. Satu atau lebih gangguan jiwa dan perilaku dialami oleh 25% dari seluruh penduduk pada suatu masa dari hidupnya. World Health Organization (WHO) menemukan bahwa 24% pasien yang berobat ke pelayanan kesehatan primer memiliki diagnosis gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang sering ditemukan di pelayanan kesehatan primer antara lain adalah depresi dan cemas, baik sebagai diagnosis tersendiri maupun komorbid dengan diagnosis fisiknya (World Health Report 2001).
Sementara itu masalah kesehatan jiwa di Indonesia cukup besar. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018), data nasional untuk gangguan mental emosional (gejala depresi dan cemas) yang dideteksi pada penduduk usia ≥15 tahun atau lebih, dialami oleh 6% penduduk atau lebih dari 14 juta jiwa; sedangkan gangguan jiwa berat (psikotik) dialami oleh 1.7/1000 atau lebih dari 400.000 jiwa. Sebesar 14,3% dari gangguan psikotik tersebut atau sekitar 57 ribu kasus mengatakan pernah dipasung. Tidak sedikit masalah kesehatan jiwa tersebut dialami oleh usia produktif, bahkan sejak usia remaja. Depresi juga dapat terjadi pada masa kehamilan dan pasca persalinan, yang dapat mempengaruhi pola asuh serta tumbuh kembang anak.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 dan Riskesdas tahun 2018, ditemukan bahwa semakin lanjut usia, semakin tinggi gangguan mental emosional yang dideteksi. Maka upaya-upaya dalam peningkatan kesehatan jiwa masyarakat, pencegahan terhadap masalah kesehatan jiwa dan intervensi dini gangguan jiwa seyogyanya menjadi prioritas dalam mengurangi gangguan jiwa berat di masa yang akan datang.
Beban yang ditimbulkan akibat masalah kesehatan jiwa cukup besar. Di Indonesia saat ini gangguan jiwa menduduki nomor 2 terbesar penyebab beban disabilitas akibat penyakit berdasarkan YLD (years lived with disability). Depresi sendiri merupakan peringkat ke 8 penyebab beban utama akibat penyakit berdasarkan DALY’s (disability-adjusted life year), sedangkan usia terbanyak yang dipengaruhi adalah usia produktif antara 15-45 tahun (The Global Burden of Disease Study, 2010).
Di samping itu masalah kesehatan jiwa tersebut dapat menimbulkan dampak sosial antara lain meningkatnya angka kekerasan baik di rumah tangga maupun di masyarakat umum, bunuh diri, penyalahgunaan napza (narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya), masalah dalam perkawinan dan pekerjaan, masalah di pendidikan, dan semua dampak tersebut akan mengurangi produktivitas. Hal ini perlu diantisipasi, mengingat WHO mengestimasikan depresi akan menjadi peringkat ke-2 penyebab beban akibat penyakit di dunia (global) setelah jantung pada tahun 2020, dan menjadi peringkat pertama pada tahun 2030.
Namun demikian kesenjangan pengobatan (treatment gap) antara masyarakat yang membutuhkan layanan dan yang mendapatkan layanan kesehatan jiwa di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sangat besar yaitu lebih dari 90%. Hal ini berarti bahwa hanya kurang dari 10% pasien gangguan jiwa mendapatkan pengobatan. Kesenjangan pengobatan tersebut antara lain disebabkan adanya hambatan dalam akses layanan kesehatan jiwa.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah terdapatnya beban yang sangat besar di RSJ/RS rujukan utama (layanan tersier) di Indonesia, meskipun sebagian dari kasus tersebut sebenarnya dapat ditangani di pelayanan kesehatan primer. Layanan kesehatan jiwa yang terintegrasi di puskesmas merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang tercantum di dalam pasal 34. Undang-Undang ini merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan tugas negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi (to respect, to protect and to fulfill) hak masyarakat, di bidang kesehatan jiwa.
Integrasi kesehatan jiwa ini juga merupakan rekomendasi dari World Health Organization (WHO) dan World Organization of Family Doctors (WONCA), serta kebijakan regional ASEAN yang telah disepakati bersama oleh tiap Negara anggota. Hal ini juga merupakan kebijakan nasional yang tercantum dalam Peta Strategis, Rencana Aksi Kesehatan Jiwa tahun 2015-2019, lampiran RPJMN 2015-2019, dan Standar Pelayanan Minimal di Provinsi dan Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan tahun 2015-2019.
Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa di puskesmas berdasarkan Peta Strategis adalah puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan terlatih kesehatan jiwa, melaksanakan upaya promotif kesehatan jiwa dan preventif terkait kesehatan jiwa, serta melaksanakan deteksi dini, penegakan diagnosis, penatalaksanaan awal dan pengelolaan rujukan balik kasus gangguan jiwa. Layanan tersebut dilakukan dengan memperhatikan komorbiditas fisik dan jiwa.
Layanan kesehatan primer terutama puskesmas sebagai ujung tombak layanan kesehatan di masyarakat memiliki peran yang sangat penting. Puskesmas diharapkan berperan dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa yang terpadu dengan layanan kesehatan umum. Penyediaan layanan kesehatan jiwa dasar di puskesmas harus tetap dijalankan untuk memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat.
Terbatasnya sumber daya kesehatan terlatih jiwa merupakan salah satu masalah yang perlu diatasi. Untuk itu perlu peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di layanan primer (puskesmas) di samping supervisi dari tenaga profesional kesehatan jiwa. Peningkatan kapasitas tersebut berupa Pelatihan bagi Nakes tentang Penatalaksanaan Kasus Gangguan Jiwa di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Gangguan Jiwa bagi Nakes di Puskesmas ini bertujuan:
Pelatihan ini diikuti 30 (tiga puluh) orang yang terdiri dari dokter dan pengelola program jiwa Puskesmas 13 Kabupaten/kota dengan narasumber pelatihan deteksi dini dan penatalaksanaan gangguan jiwa sebagai berikut : Dr.H.Muhammad Muslim, S.Pd, M.Kes sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, H. Syahriani Noor, SKM, M.Kes sebagai Kepala Bidang P2P, Linda Dwi Novial Fitri, M. Kep.Sp.Kej dari RSJD Atma Husada Mahakam, Syarniah, S.Kp.M.Kep.Sp.Kep.J dari Poltekes Banjarmasin, dr. Sherly Limantara, Sp.Kj dan dr. Yanuar Satrio Sarosa, SP, KJ dari RSJ Sambang Lihum.
Kegiatan Pelatihan deteksi dini dan Penatalaksanaan gangguan jiwa bagi nakes di Puskesmas bersumber dana APBN Satker Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan pada Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019. Metode pelatihan dengan paparan materi oleh Narasumber, diskusi tanya jawab. Sebelumnya dilakukan pretest dilengkapi dengan praktik kerja lapangan di Puskesmas Pekauman dan Puskesmas Karang Mekar. Pada akhir pelatihan dilakukan post test dan penatalaksaan Rencana Tindak lanjut .(Kusumorini-Kalsel)
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.