Pencegahan Tersier Thalassemia'

Pencegahan Tersier Thalassemia

11 Mei 2017

C. Pencegahan  tersier  bagi  penyandang  Thalassemia  adalah mencegah agar  tidak  timbul komplikasi yang makin memperberat kondisi kesehatannya.Misalnya dalam tatalaksana transfusi darah diupayakan agar tidak terjadi penumpukan zat besi yang berlebihan dan jika terjadi penumpukan zat besi maka terapi kelasi besi harus dikuasai oleh petugas kesehatan di rumah sakit dengan baik untuk mencegah terjadinya kerusakan hati dan ginjal.


D. Penatalaksanaan Thalassemia


1. Penatalaksanaan bagi pasien Thalassemia Mayor


     Di Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (Puskesmas dan fasilitas kesehatan    lainnya).


a. Penatalaksanaan kasus Thalassemia dengan rujuk balik adalah mengikuti anjuran dokter dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan, umumnya pada pasien Thalassemia mayor adalah evaluasi klinis,  pemeriksaan  laboratorium  dan  efek samping dari pemberian kelasi besi.


b. Untuk fasilitas kesehatan   tingkat pertama yang akan mendapatkan rujukan balik pasien Thalassemia dari fayankes tingkat lanjutan,perlu melakukan   monitoring   seperti: Munculnya reaksi transfusi yang muncul (bisa tipe cepat dan atau lambat), terutama urtikaria dan demam yang dapat diatasi simptomatis. Saat akan merujuk balik pasien ke fayankes lanjutan agar diinformasikan:



  1. Adanya reaksi transfusi

  2. Monitor kadar Hb pasien, jika < 9 g/dL sebaiknya dirujuk kembali ke fasyankes   lanjutan   untuk   mendapatkan transfusi darah adekuat.

  3. Monitoring kepatuhan dan efek samping obat kelasi besi. Selain itu  pada  pasien  yang  telah  displenektomi  perlu dipantau ketat terutama adanya tanda-tanda infeksi, tidak boleh   dianggap   sepele dan  pasien harus   dapat pengobatan yang adekuat.

  4. Melakukan KIE pada pasien dan keluarga akan pentingnya pengobatan yang   teratur dan adekuat,jikamungkin mencarikan 4-5 orang donor darah  tetap  untuk  setia


 



  1. Penatalaksanaan Thalassemia Pembawa Sifat /”Carrier


a. Di Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya)


1. Pada kasus anemia yang dicurigai pembawa sifat/carrier Thalassemia berdasarkan anamnesa, riwayat anggota keluarga ada yang menderita Thalassemia, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium dan telah menyingkirkan kemungkinan adanya  tanda-tanda infeksi dan anemia defisiensi besi. (Pedoman Tatalaksana Pengelolaan Anemia Defisiensi   Besi, oleh Direktorat Gizi,Kementerian Kesehatan).


2. Sebaiknya sebelum melakukan pemeriksaan darah  dan skrining   Thalassemia   faskes   tingkat 1 melakukan penyuluhan secara berkala mengenai apa pentingnya mengetahui penyakit Thalassemia untuk meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat  sehingga masyarakat awam sadar dan mengerti mengapa pemeriksaan skrining tersebut menjadi sangat penting.


 b. Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan


Kegiatan yang dilakukan meliputi:



  • Penatalaksanaan pasien Thalassemia yang optimal

  • Menerima rujukan dan mengembalikan dari dan ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (pasien, laboratorium dan penunjang lain)

  • Melakukan deteksi dini Thalassemia

  • Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)



  1. Penatalaksanaan Thalassemia


Secara garis besar, penatalaksanaan Thalassemia adalah transfusi darah, pemberian obat  pengikat besi (iron chelators),obat obat suportif, manajemen komplikasi medis dan non medis, serta transplantasi sumsum tulang.


a).   Transfusi darah


             Pemberian transfusi darah bagi penyandang Thalassaemia  seumur  hidup,  rata-rata sebulan    sekali, kemudian untuk mengeluarkan kelebihan besi dalam tubuh akibat  transfusi  darah  rutin dan  anemia  kronik  maka diberikan  obat   kelasi   besi. Komplikasi   Thalassaemia seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan, pembesaran limpa, dan lainnya umumnya muncul pada dekade kedua, dengan tatalaksana yang baik, maka pasien dapat mencapai usia sampai dekade ke 3-5.


                 Berdasarkan rekomendasi PHTDI Indonesia transfusi darah rutin untuk pasien anak diberikan pada kadar Hb pretranfusi 9-10 gr %, dengan target Hb pasca transfusi antara 12-13 gr%. Hal ini bertujuan agar anak Thalassemia mayor dapat tumbuh dan kembang sesuai anak normal lainnya.


                 Sangat dianjurkan pemberian darah aman dan adekuat untuk mencegah tertularnya  penyakit yang dapat tertular melalui darah, misalnya hepatitis B, hepatis C dan HIV,Dunia menganjurkan skrining darah donor menggunakan   metoda “nucleic   acid   testing” (NAT). Sayangnya skrining metoda NAT ini tidak selalu tersedia disemua tempat, untuk itu dapat diusahakan menyediakan donor tetap yang sudah diskrining sebelumnya, selain itu pada  pasien  yang  mendapat  transfusi  darah  berulang seperti pasien Thalassemia, untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi akibat  pembentukan alloantibodi, dianjurkan untuk  menggunakan darah  rendah  leukosit (leukoreduksi atau leukodeplesi), jika darah leukoreduksi tidak  tersedia,  dapat  menggunakan  bedside  filter  saat transfusi.


b). Obat Pengikat Besi / Kelasi Besi


Saat  ini  di  Indonesia  tersedia 3  jenis  obat  obat pengikat besi (iron cehlators). Ke tiga obat tersebut adalah


1) Desferrioxamine (DFO) yang diberikan secara subkutan


2) Deferriprone (DFP),


3) Deferasirox (DFX) yang dapat diberikan secara oral.


Obat kelasi besi ini baru diberikan jika


1. Kadar feritiin serum ≥ 1000 ng/dL


2. Kadar saturasi transferin (serum iron/total iron binding capacity = SI/TIBC) ≥ 75%


3. Adanya tumpukan besi di jantung yang diukur dengan menggunakan pemeriksaan MRI T2* < 20 ms


4. Telah menerima transfuse darah > 10x


5. Telah menerima darah sebanyak ± 3 liter.


c). Obat obat suportif dan makanan


             Di samping transfusi darah, kepada pasien diberikan obat-obat seperti asam folat,  vitamin E sebagai antioksidan,serta micro dan makroelental lainnya seperti kalsium,zinc dan   pengobatan khusus lainnya untuk mencegah atau sebagai terapi dari komplikasi yang timbul.Makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang banyak mengandung zat besi seperti daging merah dan hati.Sangat dianjurkan untuk banyak mengkonsumsi makanan dairy products seperti susu, keju, gandum, juga teh.


d).  Splenektomi


            Pembesaran  limpa  yang  terjadi  umumnya  akibat terjadinya  hiperaktif  sistem  eritropoesis  yang  biasanya terjadi akibat Hb pretransfusi pasien yang rendah (Hb < 9 g/dL). Hal ini menyebabkan tubuh melakukan kompensasi dan menyebabkan limpa membesar.


            Saat  ini  splenektomi  sudah  banyak  ditinggalkan, karena  bahaya  pasca  tindakan  seperti  thrombosis  dan sepsis  yang  berat.  Jika  pembesaran  limpa  disebabkan transfusi darah yang tidak adekuat, sebelum melakukan tindakan  splenektomi  dapat  dicoba  pemberian  transfusi dan kelasi besi yang adekuat (Hb pre transfusi 9-10 g/dL dengan target Hb 13 g/dL disertai pemakaian kelasi besi adekuat selama 6 bulan) Jika dengan tindakan tersebut ukuran limpa mengecil, maka tindakan splenektomi dapat ditunda).Tetapi pada  beberapa    kasus    yang memerlukannya   harus   diperhatikan   bahwa 2 minggu sebelum/sesudah operasi sebaiknya diberikan vaksinasi, dan pemantauan ketat tanda infeksi pasca splenektomi.


e).   Manajemen komplikasi


               Komplikasi dapat terjadi akibat        penyakit Thalassemianya sendiri dan akibat dari tatalaksana yang diberikan.  uan psikososial terutama pada pasien remaja.


Monitoring  komplikasi  akibat  penyakit  yang umumnya dilakukan saat pasien mulai berusia 10 tahun dengan melakukan serangkaian pemeriksaan, antara lain:
ekokargiografi,   MRI   T2*   untuk   mengetahui   adanya hemokromatosis jantung; Pemeriksaan hormon pertumbuhan, elektrolit dan mikro/ makroelemen (kalsium, fosfat,   zink),   bone   age   untuk   mengetahui   adanya keterlambatan  usia  tulang,  foto  tulang  panjang  untuk melihat   osteoporosis.   Selain   itu   pada   pasien   remaja sebaiknya   dilakukan   juga   terapi   psikososial   untuk meningkatkan rasa percaya diri, kemampuan yang mereka miliki, dan   mengatasi   kebosanan   dalam   melakukan pengobatan yang akan mereka jalani seumur hidupnya.


f). Transplantasi sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, dengan syarat pasien tersebut belum menderita komplikasi berat yang “irreversible” dan pasien tersebut memiliki donor sumsum tulang yang cocok sistem HLA-nya, untuk transplantasi alogenik.



  1. Menerima rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama


(pasien, laboratorium dan penunjang lain)


Mulai dari menegakan diagnostik, tatalaksana optimal, kemudian  memberikan  rujukan  balik  ke  fasyankes   tingkat pertama,   pemeriksaan   apa   yang   harus   dimonitor   secara periodik di antaranya darah tepi, fungsi organ hati dan ginjal, dan adanya tanda infeksi. Bila ditemui tanda infeksi, dianjurkan untuk untuk menghentikan obat kelasi besi (minimal monitoring SGOT, SGPT, ureum kreatinin per 3 bulan). Untuk anak dengan Hb ≤ 9 gr/dL dan dewasa dengan Hb ≤ 8 gr/dl harus dirujuk untuk transfusi.



  1. Melakukan deteksi dini Thalassemiad


Dengan  atau  tanpa anemia  yang  disertai  gambaran mikrositik hipokrom harus dilakukan deteksi dini.



  1. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)


Dalam rangka meningkatkan “awareness” bagi pasien, keluarga, masyarakat awam tentang penyakit Thalassemia

Newsletter

Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.

Agenda Mendatang
14 March 2024
Hari Ginjal Sedunia - 14 Maret 2024
03 March 2024
Hari Pendengaran Sedunia 2024
04 March 2024
Hari Obesitas Sedunia 2024
27 March 2024
Webinar Hari Ginjal Sedunia 2024
07 March 2024
Seminar Puncak Hari Pendengaran Sedunia 2024
Selengkapnya